Minggu, 16 Agustus 2015

SOMBA OPU

Sejarah Singkat Somba Opu

Somba Opu merupakan nama dari Benteng yang didirkan oleh Raja ke-9 Kesultanan Makassar bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna pada abad ke-16, dan terdapat di muara sungai Jeneberang, Somba Opu dijadikan sebagai benteng utama, ibukota Kesultanan Makassar serta kediaman para Raja, dan posisi Somba Opu yang strategis dan memiliki pelabuhan yang terbaik mendatangkan pedangan, apalagi setelah di kuasainya Malaka oleh Portugis atau yang lebih dikenal Portugal pada tahun 1511 mengakibatkan banyak pedagang yang berdatangan dari penjuru Nusantara, Asia, maupun Eropa untuk berdagang di Somba Opu, mengatarkan Somba Opu menjadi pusat serta penguasa jalur perdagang dan menjadikan pelabuhannya sebagai pelabuhan internasional di Timur Nusantara.
Peristiwa Somba Opu atau Perang Makassar(1666 – 1669)

Peristiwa Somba Opu atau dalam bahasa bugis yang dikenal dengan Rumpa'na Somba Opu atau Runtuhnya Somba Opu, terjadi dimasa pemerintahan dari Raja ke-16 Kesultanan Makassar bergelar I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana atau lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin yang diberi julukan De Haantjes van Het Oosten yang artinya Ayam Jantan Timur oleh Belanda, karena kegigihanya serta kehebatannya melawan Belanda.

Peristiwa di Somba Opu melibatkan VOC yang dipimpin oleh Cornelis Speelman dibantu oleh Kapiten Jonker pemimpin pasukan dari maluku yang mengabdikan dirinya kepada VOC, Kesultanan Bone di pimpin oleh Raja ke-16 Kesultanan Bone bergelar La Tenritatta To Unru To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme'na Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin, atau lebih dikenal dengan nama Arung Palakka yang pada waktu itu masih menjadi seorang Pangerang, dan Kedatuan Soppeng dipimpin oleh tiga tokohnya yaitu Arung Bila, Arung Appanang dan Arung Belo, karena Raja ke-15 dari Kedatuan Soppeng bernama Datu La Tenribali MatiroE ri Adatunna sedang di asingkan ke Siang karena membantu pelarian Arung Palakka berserta Arung Bila, Arung Appanang dan Arung Belo ke Tanah Jawa, serta kerajaan-kerajaan kecil dari Orang Makassar dan Bugis bersekutu untuk mengempur Kesultanan Makassar yang dipimpin Sultan Hasanuddin yang di bantu oleh Raja atau disebut Arung Matoa ke-23 Kerajaan Wajo bernama La Tenri Lai To Sengngeng, yang berusaha mempertahankan Somba Opu.

Didalam gempuran tersebut Benteng Somba Opu di Gempur melalui daratan dan diperairan, dimana di daratan dipimpin langsung oleh Arung Palakka yang terdiri dari pasukan gabungan orang-orang Makassar dan Bugis yang berasal dari Bone, Soppeng, dan kerajaan-kerajaan kecil, sedangkan di perairan Armada Angkatan Laut VOC yang dipimpin Cornelis Speelman mengempur habis-habisan Somba Opu, akibat gempuran Kesultanan Makassar dan Kerajaan Wajo pun terdesak hingga pada tahun 1667 Kesultanan Makassar harus bertekuk lutuk di hadapan VOC dan mendatangani sebuah perjanjian dengan VOC yang disebut Perjanjian Bungaya atau “CappaE ri Bungaya”, yang isinya sebagai berikut:
  1. Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
  2. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
  3. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
  4. Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  5. Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
  6. Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan. Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9.  Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
  11. Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
  12. Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
  14. Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
  15. Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
  16. Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
  17. Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
  18. Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng La Tenribali dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
  19. Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
  20. Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
  21. Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
  22. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  23. Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  24. Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang pada masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
  25. Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
  26. Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
  27. Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
  28. Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
  29. Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
  30. Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.

Sejak saat itu Kesultanan Bone dan Kedatuan Soppeng berserta kerajaan lainnya meraih kemerdekaannya atas Makassar dan sesuai dengan poin ke 18 dari isi perjanjian, Raja ke-15 dari Kedatuan Soppeng Datu La Tenribali MatiroE ri Adatunna, dibebaskan dari pengasingannya di Siang dan kembali menjabat sebagai Raja di negerinya yaitu Soppeng, sedangakan Kesultanan Bone mendapatkan seluruh kekuatan politik di Seluruh Sulawesi Selatan, dari tangan Kesultanan Makassar, dan VOC mendapatkan hak monopolinya atas perdaganan di Timur Nusantara.

Namun berbeda dengan Raja ke-23 dari Kerajaan Wajo Matoa La Tenri Lai To Sengngeng, pada waktu tetap ingin bertahan di Somba Opu meskipun sudah 504 korban jiwa dari pihaknya yang tewas, namun Sultan Hasanuddin menyuruh Raja Wajo tersebut untuk kembali ke Wajo, akhirnya dengan mendengar permintaan Sultan Hasanuddin,Matoa La Tenri Lai To Sengngeng sebagai Raja Wajo ke 23 meninggalkan Somba Opu dan kembali ke Wajo.

Namun perjanjian tersebut banyak merugikan pihak Kesultanan Makassar, sehingga terjadilah perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Makassar yang dipimpin para tokoh serta Raja dari Kesultanan Makassar pada tahun 1669, namun perlawanan tersebut berhasil digagakan oleh pihak VOC, Somba Opu pun dibumi hanguskan, meriam-meriam di sita oleh pihak VOC yang dipimpin oleh Cornelis Speelman, setelah kejadian tersebut benteng kebanggaan Kesultanan Makassar hancur, dan terendam oleh air hingga ditemukan lagi pada tahun 1980 oleh seorang ilmuwan.

0 komentar:

Posting Komentar